JAKARTA - Saat ini, tiga disrupsi menerpa dalam waktu bersamaan, yaitu perubahan iklim, revolusi industri 4.0, dan pandemi Covid-19. Disrupsi ini telah membuat kegamangan global.
Ini adalah hal yang sama sekali baru dan belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada pengalaman untuk menghadapi ketiga disrupsi ini. Tidak hanya Indonesia, bahkan di banyak negara, termasuk negara maju sekalipun, merasakan kesulitan yang sama.
Baca Juga:Â Â Tantangan Disrupsi Teknologi, Kemhan Kembangkan Sistem Pertahanan Siber
Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ketiga disrupsi ini membuat semua berada dalam satu garis start bersama semua negara. Karena berada dalam satu garis start, maka siapa yang cepat berlari akan memenangkan pertarungan.
Persoalannya apakah kita bisa cepat berlari mengalahkan kecepatan negara lain yang juga pasti akan berlari? Apakah kondisi fisik kita seprima fisik negara-negara maju? Apakah pengalaman masa lalu akan menentukan kecepatan kita berlari hari ini dan masa depan?
Charles Darwin pernah mengatakan bahwa yang bisa bertahan bukan semata yang terkuat dan terpintar, namun yang responsif terhadap perubahan. Kini, kita hidup di alam perubahan yang begitu cepat, diiringi dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang amat tinggi.Â
Disrupsi ini mengajarkan kita bahwa yang menentukan adalah kecepatan belajar (learning agility) dan bertindak dalam merespon perubahan. Kecepatan belajar ini adalah soal mindset.
Baca Juga:Â Â Mengulik Peluang dan Tantangan Komunikasi di Era Disrupsi
Dalam Sinopsis Buku Pesan Rektor : Mindset Baru untuk Transformasi karya Arif Satria, mindset baru merupakan modal utama kekuatan transformatif. Orang yang memiliki kecepatan belajar umumnya optimis, kreatif, dan penuh imajinasi. Karena itu, kecepatan belajar ini merupakan modal penting bagi lahirnya inovasi yang merupakan ciri dari kemajuan sebuah bangsa.