JAKARTA - Psikolog yang juga Kasie Perlindungan Anak Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah, Isti Ilma Patriani mengatakan, sistem daring yang menjadi alternatif pembelajaran ketika masa pandemi berpotensi menimbulkan konflik antara orangtua dan anak.Â
“Di dunia pendidikan, sistem daring menjadi pilihan untuk proses pembelajaran. Namun, tidak semua orangtua memiliki kapasitas untuk mendidik layaknya guru di sekolah. Hal ini dapat menjadi potensi orangtua untuk melimpahkan kekesalan pada anak,” kata Isti dalam webinar nasional kuliah pakar yang mengusung tema “Meningkatnya Kekerasan Anak di Masa Pandemi : Ayah, Bunda, Mengapa Aku Tidak Disayang?” pada Sabtu 21 November 2020 seperti dikutip dari situs UNS.
Menurut Isti, peran orangtua sangat penting bagi pengasuhan anak, terutama yang menyangkut edukasi dan pengaruh positif. Ketika seorang anak berada dalam masa golden age, mereka akan secara aktif menyerap hal positif dan negatif.
Baca Juga:Â Â Sekolah Virtual Solusi untuk Keluarga Tak Mampu di Pelosok
Apabila terdapat kekerasan fisik, sikap merendahkan anak, suka menstigmatisasi dan labelling, serta pemberian ucapan negatif pada anak, hal tersebut akan memberikan pengaruh terhadap perilaku mereka. Isti menyarankan alangkah lebih baiknya, orangtua dapat mendengarkan dan memahami anak, memberikan kasih sayang dan ucapan positif, juga melatih komunikasi yang baik.
Sementara Dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rahesli Humsona mengatakan, pada masa pandemi, anak menghadapi kondisi ancaman yang beragam.
“Di masa pandemi, anak menghadapi berbagai kondisi ancaman. Pertama, anak takut terkait kondisi pandemi itu sendiri. Kedua, anak ditekan oleh orangtua apabila anak tidak patuh. Ketiga, anak mendapatkan tekanan dari lembaga pendidikan. WFH (Work Form Home) dan SFH (Study From Home) membuat keluarga menjalani hari-hari yang panjang di rumah secara bersama-sama,” jelas Rahesli.
Rahesli menambahkan, bahwa ketidakpastian kondisi dalam pandemi, menyebabkan rasa cemas, khawatir, jenuh, bosan, penat bahkan depresi bagi anak. Sasaran berbagai situasi ini akhirnya berimbas pada kelompok yang paling lemah dalam keluarga, yaitu anak yang lebih rentan mengalami kekerasan. Bagi psikologi anak, kekerasan dapat menyebabkan adanya kepercayaan diri yang rendah.
Baca Juga:Â Â Sedih, Banyak Pelajar Tak Punya Ponsel atau Kuota Internet untuk Belajar Daring
Dampak sosiologisnya, anak akan sulit mempercayai orang lain. Sedangkan, bagi fisiologis anak, akan menyebabkan luka, cacat fisik, bahkan kematian. Untuk mengatasi hal itu, perlu adanya penguatan kapasitas, peran, dan fungsi keluarga, serta memperkuat kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, juga menggencarkan kampanye anti kekerasan anak.