LONDON - Perusahaan konsultan swasta yang berbasis di London Equatorise menggandeng mahasiswa S3 Indonesia di Inggris untuk melakukan riset potensi perdagangan karbon.
Adapun perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca berbasis mekanisme pasar.
Jalinan kerja sama tersebut ditandai dengan penandatangan nota kesepahaman (MoU) antara CEO Equatorise Steven Marcelino dan Ketua Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK), yang merupakan organisasi independen mahasiswa doktoral Indonesia di Inggris.
Penandatanganan naskah kerja sama tersebut disaksikan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London Khairul Munadi.
“Potensi perdagangan karbon di Indonesia sangat besar, kontribusinya terhadap GDP bisa mencapai 15 miliar USD, atau lebih dari Rp 220 triliun dan mendatangkan hingga 9 miliar USD penanaman modal asing. Kami yakin mahasiswa S3 mampu melakukan analisis mendalam berbasis data dan fakta tentang potensi perdagangan karbon Indonesia,” ujar Steven melalui keterangan tertulis bersama, Rabu (8/2/2023).
Ketua Doctrine-UK Gatot Subroto mengatakan jalinan tersebut adalah bentuk kerja sama konkrit antara dunia pendidikan dengan industri.
“Ini salah satu ikhtiar kami agar hasil riset yang dilakukan para mahasiswa S3 Indonesia di Inggris tidak hanya berakhir di laci meja dan perpustakaan. Namun dapat diterapkan oleh pihak swasta,” ujarnya.
Rezza Frisma Prisandy, Ketua Klaster Kajian Perubahan Iklim Doctrine UK mengatakan keluaran dari MoU tersebut adalah laporan dan publikasi riset perdagangan karbon di Indonesia.
Ia menuturkan Klaster Kajian Perubahan Iklim berisi 49 mahasiswa doktoral Indonesia yang sedang riset atau memiliki ketertarikan tentang isu lingkungan.
Saat ini mereka sedang melakukan studi S3 di berbagai kampus ternama di Inggris.
“Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur skema perdagangan karbon. Kami berharap riset yang kami hasilkan tidak hanya berguna untuk swasta, namun juga dapat mendukung program pemerintah. Sebab, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai produsen kredit karbon berbasis alam (nature based carbon credit) di dunia,” ujar Rezza yang sedang melakukan studi S3 bidang Climate Finance di University of Manchester.
(Natalia Bulan)