JAKARTA - Siapa yang ingin hidup miskin? Tentu tak satu pun dari kita ingin hidup dalam kemiskinan. Konon, jika kita malas bekerja, hidup akan jadi lebih sulit. Lantas bagaimana kemiskinan dan kemalasan saling berkaitan?
Dari kacamata Ilmu Sosiologi, ada dua pandangan mengenai sebab kemiskinan. Pertama, kemiskinan dianggap bersumber dari hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik psikologis kultural individu. Contohnya malas atau tidak punya etos wirausaha.
Baca Juga: Wapres Maruf Amin Ungkap Tantangan Penanganan Kemiskinan Ekstrem
Kedua, kemiskinan muncul dari faktor-faktor struktural. Seperti kurangnya kesempatan dan kompetisi yang terlalu ketat atau tidak memiliki modal usaha.
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si. angkat bicara. Menurutnya, miskin dan malas tidak berhubungan. Sebab, jelasnya, kemiskinan terjadi karena faktor-faktor yang sifatnya struktural dari pada kultural.
“Kita terbiasa menghakimi orang yang miskin sebagai orang yang malas atau tidak mau bekerja keras. Padahal, jika kita lihat pengemis di pinggir jalan, panas-panas, pakai pakaian badut menari-nari. Itu kan pekerjaan yang berat sebetulnya,” tutur Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu dikutip dari situs resmi Unair, Rabu (27/10/2021).
Jika dibandingkan, kata Prof Bagong, pekerjaan di sektor informal bahkan lebih keras daripada pekerjaan kelas menengah. Namun, karena ketidakmampuan pendidikan ditambah minimnya akses jaringan memaksa kaum miskin untuk bertahan.
Baca Juga: Pemerintah Kejar Target Nol Persen Kemiskinan Ekstrem di 2024
Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia pada 2019 lalu mengungkap, anak-anak dari keluarga miskin, ketika dewasa akan tetap miskin. Hal itu, jelas Prof Bagong, menunjukkan bahwa mata rantai kemiskinan memang sulit diputus.
“Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup,” paparnya.