SIAPA sangka tenaga ahli di Hutan Gunung Leuser adalah seorang pria yang hanya lulusan sekolah dasar (SD). Sang ahli tersebut adalah Ibrahim. Dia merupakan orang yang mampu mengidentifikasi ribuan spesies flora dan fauna di Hutan Leuser, bahkan membantu banyak peneliti serta membimbing observasi banyak mahasiswa dan dosen.
Ditemui di Stasiun Penelitian Soraya di pedalaman Hutan Leuser, Ibrahim yang dipanggil "Prof" oleh para jagawana dan staf di sana memang tampak seperti layaknya seorang guru besar.
Berpakaian rapi, kaus lengan panjang hitam seragam Forum Konservasi Leuser yang mengelola stasiun penelitian itu, disematkan ke dalam celana cargo-nya yang diikat dengan gesper.
Ia pun berpengetahuan luas. Semua pertanyaan seputar Hutan Leuser dapat dijawabnya.
Banyak orang langsung terheran-heran begitu mengetahui bahwa Ibrahim hanya seorang lulusan SD.
"Beliau ini cukup ahli dalam mengidentifikasi satwa dan juga tumbuh-tumbuhan. Beliau cukup detail dalam memberikan petunjuk mengenai satwa tertentu atau tumbuhan tertentu," ungkap Ridha Abdullah, seorang staf Forum Konservasi Leuser, seperti dikutip dari BBC News Indonesia, Rabu (11/3/2020).
Ia menambahkan, "Gelar profesor itu sebagai bentuk penghargaan kepada Beliau dari mahasiswa ataupun dosen-dosen yang pernah dibimbing di lapangan."
Ibrahim menguasai lebih dari 1.000 spesies tanaman dan ratusan spesies hewan. Berdasarkan pengamatan, ia memiliki ingatan fotografis. Terbukti saat masuk ke hutan di sekitar stasiun penelitian, dia berhenti di tengah-tengah untuk mengamati sebuah burung dengan teropongnya.
"Saya menanyakan apa yang sedang dilihatnya," ucap Ridha.
"Burung tepus gunung. Nanti di kamp bisa kita lihat gambarnya di nomor 595," jawab Ibrahim.
Namun bukan sekali itu saja, beberapa kali banyak orang "menguji keahliannya" selama berada di dalam hutan. Kadang menanyakan jenis pohon, kadang hewan yang lewat, bahkan kotoran hewan pun dapat diidentifikasinya.
Ibrahim mulai tertarik dengan fenologi –ilmu yang mempelajari pengaruh lingkungan sekitar terhadap organisme dan sebaliknya– sejak diajak menjadi asisten peneliti di Ketambe, Aceh, pada 1986. Sampai sekarang ia telah meneliti perilaku banyak satwa liar, termasuk siamang, gibbon, dan orangutan.
"Pertamanya saya bingung juga untuk apa diikuti binatang ini. Lama-kelamaan melihat perilakunya itu jadi tertarik juga," kisahnya.