Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kekerasan Seksual Berbasis Siber, Apa Itu?

Rani Hardjanti , Jurnalis-Kamis, 21 Maret 2019 |11:10 WIB
Kekerasan Seksual Berbasis Siber, Apa Itu?
Kekerasan seksual siber. (Foto: UI)
A
A
A

JAKARTA - Belakangan ini kerap beredar foto-foto mesum. Namun, di balik foto asusila tersebut ada terkadang ada modus tertentu yang termasuk kekerasan seksual berbasis siber. Apakah itu?

Revenge porn atau yang termasuk di dalamnya kekerasan seksual berbasis siber merupakan bentuk balas dendam yang dilakukan pelaku terhadap korbannya dengan menyebarkan konten pornografi karena satu dan lain hal. Namun pada saat ini belum ada terminologi yang cocok di Indonesia untuk menjelaskan revenge porn.

Baca juga : 2 Hari Kenalan di Facebook, Siswi SMP Dibius dan Disetubuhi

Revenge porn termasuk salah satu bentuk kekerasan seksual berbasis siber karena kekerasan seksual tersebut dilakukan di dunia maya tetapi memiliki dampak di dunia nyata. Kekerasan seksual berbasis siber menyerang seksualitas dari si korban. Biasanya yang menjadi korban dari kasus ini adalah perempuan, laki-laki yang feminis, atau orang yang miliki orientasi seksual yang minoritas (homoseksual).

Hal itu diungkapkan Nadya Karima Melati, S. Hum dalam seminar mengenai “Kenali Kekerasan Berbasis Gender Online dan Cara Lindungi Diri”, yang diselenggarakan oleh Ikatan Studi Jerman Universitas Indonesia (ISJ UI) di Auditorium Gedung X Fakultas Ilmu Budaya UI (FIB UI).

Seminar ini membahas isu seksualitas, terutama revenge porn yang merupakan salah satu dari bentuk kekerasan seksual di dunia maya. Seminar ini diadakan untuk menambah pengetahuan para peserta dalam memahami isu kejahatan seksual sehingga dapat menjaga dirinya di dunia nyata dan di dunia maya.

Baca Juga : Instagram, Platform Terbesar bagi Pedofil untuk Menggoda Anak-Anak

Nadya membahas mengenai kekerasan berbasis gender siber dengan memaparkan materi yang berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Support Group and Resource Center on Sexuality Study (SGRC). Nadya merupakan salah satu alumni sejarah FIB UI yang menjadi co-founder dari SGRC.

“Kekerasan seksual siber adalah bentuk kekaburan antara batas daring (online) dan luring (offline). Di organisasi kami, kami membedakan bukan dunia maya, tetapi dunia immaterial dan dunia material di mana saling terkoneksi. Dan kekerasan seksual siber adalah hubungan tersebut,” ujar Nadya, seperti dikutip dari situs UI, Kamis (21/3/2019).

”Memang terjadinya online, tetapi dampaknya di dunia yang offline, dunia material. Yang tersebar identitas kamu secara immaterial, jadi ada identitas kita disana. Di Jerman, mereka ada ‘right to be forgotten’, di sini untuk privasi itu susah banget, khususnya di dunia digital,” tambah Nadya.

Dilihat dari pembuatan kontennya, kekerasan seksual tersebut dapat berupa foto porno, video porno, chat sex, screen shoot, atau paksaan yang dilakukan pelaku agar korbannya mau melakukan pornografi di depan kamera yang akhirnya disebarkan di dunia maya.

Mayoritas korban yang terkena kekerasan seksual siber revenge porn berada dikisaran usia 15-20 tahun. Pelakunya bisa orang terdekat korban, mantan pasangan korban, atau orang yang tidak dikenal yang me-hacking akun media sosial korban. Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh SGRC, mayoritas pelaku berasal dari orang terdekat korban.

Dalam menangani hal tersebut, SGRC melakukan advokasi kebijakan beberapa RUU dan membuat support group di beberapa kampus untuk menangani korban yang terkenal revenge porn sehingga korban mendapatkan keadilan tanpa harus diberhentikan dari sekolahnya.

“Support grup ini berfungsi untuk, pertama mengeluarkan surat keterangan bahwa dia adalah korban, terus kasih pendampingan psikologis, merujuk ke profesional, terus kita bantuin advokasi ke departemen kemahasiswaan bahwa dia ini adalah korban revenge porn. Yang dia perlukan adalah mendapatkan keadilan bukan diberhentikan sekolahnya. Jadi semacam kayak gitu,” ujar Nadya.

(Rani Hardjanti)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement